Order Membeludak, Industri Kapal Nasional Kurang Amunisi
Kamis, 15 Mei 2008 22:14 WIB - Penulis : Zubaidah Hanum
JAKARTA--MI: Pesanan kapal hingga 2010 mendatang dipastikan melimpah ruah, seiring dengan meningkatnya kebutuhan di dalam negeri. Namun peluang tersebut terancam hilang jika melihat kondisi industri maritim nasional.
Kebutuhan kapal berbendera Indonesia pada 2010 mendatang diperkirakan akan mencapai 654 unit yang terdiri dari kapal pengangkut batu bara/coal carrier (390 unit), tanker (225 unit), kargo (25 unit), dan kontainer (14 unit). Kapal-kapal itu sebagian besar didominasi kapal berukuran di bawah 50.000 DWT Jumlah tersebut dipastikan membengkak dengan adanya kebutuhan pengadaan kapal tanker untuk mengangkut minyak mentah milik PT Pertamina (Persero) sebanyak 30 unit. Rinciannya sebagai berikut, kapal ukuran 3.500 DWT (4 unit), 6.500 DWT (3 unit), GP (7 unit), MR (13 unit) dan LR (3 unit).
Kebutuhan kapal tersebut akan bertambah lagi untuk memenuhi kebutuhan armada angkutan batu bara sebagai bahan bakar PLTU yang mencapai 47 set (ukuran 7.500-50.000 DWT) dan ekspor (20.000-50.000 DWT) sebanyak 79 unit.
"Kami siap untuk menyediakan kapal untuk memenuhi pangsa pasar yang besar itu. Tapi masih ada beberapa hal yang mengganjal seperti pajak yang begitu besar, akses perbankan yang belum luwes, dan tingginya harga sewa tanah di are pelabuhan," kata Ketua Umum Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan lepas Pantai Indonesia (Iperindo) Joeswanto Karijodimedjo, seusai membuka rapat anggota Iperindo, di Jakarta, Kamis (15/5).
Dari sisi fiskal, industri kapal nasional masih menuntut pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) pada saat pembelian bahan baku atau komponen kapal. Sementara itu perusahaan pelayaran nasional sebagai pengguna akhit industri perkapalan telah dibebaskan dari pengenaan PPN, baik untuk pembangunan kapal baru atau reparasi kapal.
"INSA hanya dikenakan pajak perseroan 1,2% nett final tapi galangan kapal progresif 30%. Kan bedanya jauh sekali," imbuh dia.
Dirjen Industri Alat Transportasi dan Telematika (IATT) Departemen Perindustrian (Depperin) Budi Darmadi menjelaskan, industri galangan kapal merupakan salah satu industri strategis dan masa depan bagi Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah berupaya membangkitkan geliat industri maritim nasional dengan memberikan sejumlah insentif. Salah satu bentuk insentif yang direalisasikan adalah insentif fiskal bagi industri yang membangun kapal dengan bobot di atas 50.000 DWT.
"Insentif PP 1/2007 untuk galangan kapal di atas 50.000 DWT. Kalau yang sedang diusulkan sekarang adalah yang di bawah 50.000 DWT untuk pembangunan industri galangan kapal baru," kata Budi.
Ketua Umum Asosiasi Pemilik Kapal Nasional (Indonesia National Shipoweners Association/INSA) Oentoro Surya mengingatkan, kapal yang banyak dibutuhkan saat ini adalah kapal yang berbobot di bawah 50.000 DWT. "Yang lebih banyak dibutuhkan adalah yang di bawah itu seperti kapal 3.000 DWT dan 5.000 DWT. Kan serapan lapangan kerja juga lebih banyak," kata dia.
Selain insentif, menurut dia, dukungan lain yang diperlukan pengusaha maupun industri perkapalan dalam negeri adalah kelengkapan infrastruktur baik berupa sarana maupun industri komponen pendukung dari hulu ke hilir. Salah satunya, ungkap Oentoro, masih sedikitnya perusahaan yang memproduksi mesin-mesin kapal.
"Industri galangan kapal itu memang harus di back up. Kapal hanya akan menjadi kapal tongkang jika nggak ada mesin. Harga kapal di bawah 50.000 kurang dari US$45 juta, kalau yang di atas 50.000 DWT itu US$60 juta. Ini bisa tambah mahal kalau harga bahan baku dari baja terus naik," cetus dia.
Menanggapi hal itu, Budi mengatakan, pihaknya telah berupaya memfasilitasi relokasi perusahaan-perusahaan mesin perkapalan asing untuk masuk ke Indonesia. "Bagus sekali. Kita sedang memfasilitasi itu. Di Indonesia, engine otomotif banyak tapi kalau kapal masih sedikit misal PT Yanmar. Padahal order begitu banyak. Mungkin kita akan melakukan dengan cara membangun perakitannya dulu di Indonesia seperti otomotif," kata Budi.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri, Teknologi dan Kelautan Rachmat Gobel mengatakan, saat ini pendanaan investasi dan modal kerja belum cukup mendapat respon dari kalangan perbankan nasional. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan, outstanding kredit perbankan untuk industri perkapalan, baru mencapai Rp9,8 triliun atau 1% dari total outstanding kredit perbankan nasional yang sudah mencapai sekitar Rp1.000 triliun.
Masalah lain yang dihadapi, lanjut Rachmat, adalah lemahnya dukungan struktur industri komponen perkapalan dalam negeri. Hal ini telah menyebabkan ketergantungan impor komponen dan menjadi faktor ketidakekonomisan bagi pengusaha kapal di dalam negeri.
Dikatakannya, jumlah armada angkutan laut nasional berbendera Indonesia untuk saat ini baru sekitar 6.500-7.000 unit kapal.
"Jumlah ini jauh dari cukup untuk melayani kebutuhan, sehingga sampai saat ini sebagian besar pasar dikuasai oleh pelayaran asing. Termasuk untuk angkutan laut di dalam negeri sendiri," ujar Rachmat.
Kondisi saat ini telah membuat neraca jasa Indonesia selalu mengalami defisit dan menghilangkan sekitar US$25 miliar devisa untuk membayar perusahaan pelayaran asing. Indonesia sedikitnya harus mempunyai 10.000 unit kapal dalam berbagai ukuran, agar semua angkutan laut di dalam negeri bisa ditangani sendiri dan 20% dari angkutan ekspor impor bisa dikuasai oleh kapal nasional. (Zhi/OL-03)
credit to : Media Indonesia Online
--industri perkapalan mulai menggeliat...[yirf]--
Seja o primeiro a comentar
Post a Comment